Saturday 16 February 2013

Posted by Syukron Alfarozi Posted on 20:05 | 2 comments

Hujan Air Mata untuk Ibuku




Hari itu aku pulang sekolah. Kayuhan sepedaku tak secepat biasanya, mendung awan menurunkan suhu tubuhku disela keringat yang mengucur tak begitu deras. 1 kilometer sudah ku lalui, mungkin awan pucat tak kuat lagi menahan airnya, tak mampu lagi, berawal dengan gerimis diikuti hujan dan angin kencang. Tak membawa mantel dan tak membawa payung sekilas teringat kata ibu guru “sedia payung sebelum hujan”, persetan dengan pepatah itu karena aku telah siap dan sedia untuk basah namun keadaan berkata lain, angin kencang tak mengizinkanku untuk basah. Duduk berteduh di bawah pohon besar pinggir jalan besar meski terlalu berisiko tapi cukup untuk mengurangi tetesan air hujan kala itu. Tetes air membasahi kepalaku dan membuatku tak sadarkan dalam lamunan.
Kala itu aku bermain di depan kamar ibuku yang terbaring di kasurnya, disuapinya oleh ayahku sesendok bubur dengan diselipkan pil. Aku kecil kala itu berpikir ingin seperti ibuku disuapi dengan sesendok bubur dan sebuah pil seperti ada yang menarik dengan cara maka seperti itu. Aku pun mencoba menyelipkan pil itu dalam sendok ibuku. Namun, ibu tak sebahagia aku yang membukakan pil, hanya menahan sakit dan tersenyum padaku. Aku tak mengerti, aku ingin seperti ibu.
Bunyi kilat bergelegar membangunkan lamunanku semoga saja tak merenggut nyawa. Aku tersenyum, kenapa aku dulu ingin seperti ibu yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Hujan tak kunjung berhenti, motor dan mobil seolah semakin laju di jalanan yang terburu-buru. Daun berserakan di dekat sepeda di sampingku, angin memang tak bersahabat. Dingin waktu itu membawaku ke lamunan lagi.
Aku selalu bermain di depan kamar Ibu dan ayah di kamar sekali gus kantor pribadinya dengan berkas-berkas yang berserakan yang mungkin salah satu penyebab rambut putihnya. Ya, aku di depan ibuku waktu itu, aku melihat ibuku selalu tersenyum padaku, mungkin itu hal terlalu biasa untukku kala itu. Aku masih yang masih belum bersekolah saat itu melihat ibuku membolak-balikkan badannya mungkin kasurnya tak empuk lagi, aku tak tahu atau sedang menahan sakit di tubuhnya, aku tak tahu. Ya, aku tahu ibuku kesakitan, tapi aku tidak mau ibuku kesakitan, angin di depan kamar membawaku ke kamar ayah yang lagi bekerja dengan berkasnya, aku mengabarkannya. Beberapa saat kemudian, kerumunan orang banyak ada di rumahku, ibuku tak ada di kamarku, ayahku juga, aku menangis hanya nenek yang menemaniku, ayahku datang dan turun dari mobil putih yang membawa ibuku juga. Ya, aku melihat ibuku lagi terbaring di kamar, aku pun tersenyum, ibuku sedang tidur pulas dengan senyumnya seperti  tak ada lagi rasa sakit. Aku tak tahu ada apa dengan ayahku yang menangis di saat itu. Semua orang menangis, aku tak tahu kenapa mereka menangis. Hari itu terakhir kali aku melihat ibuku, entah ibu pergi aku tak tak tahu. Aku tetap bermain setiap hari di depan kamar ibuku, namun ibuku tak pernah terbaring di sana.
Aku tersadar meneteskan air mata, hujan yang masih deras, tak lagi menahanku untuk duduk di bawah pohon itu. Aku kayuh pulang sepedaku, aku siap untuk basah dan bahkan dimarahi ayahku karena seragam sekolahku basah. Aku ingin hujan menghapus air mataku. Aku menangis di tengah derasnya hujan agar tak seorang pun tahu kalau aku sedang menangis kecuali hujan dan ibuku.